30 April 2009

Penang (Malaysia)


Ke Korea ikut tour. Agen yang memberangkatkan kerjasama dengan biro travel. Waktu itu rombongan kami ada hampir sekitar 20 orang. Tournya dimulai dari Penang (Malaysia), Thailand dan baru Korea. Orangnya gado-gado, cewek dan cowok, tua-muda. Dari LP ada sekitar 4 orang, sisanya dari Medan.

Dari Medan ke Malaysia ngga perlu Visa dan fiskal. Cukup passport, tiket pesawat dan uang secukupnya. Perjalanan cuma sekitar 35 menit dengan pesawat. Jadi, belum juga kursi pesawat panas, sudah sampai. Baru aja pasang seat belt untuk take off, tahu-tahu sudah landing. Emang dekat sih kalau dari Medan ke Malaysia. Kalau kebetulan anda berniat ke sana dan lagi bokek, modalnya cuma satu, kuat berenang. Berenang aja.... pasti deh sampai. Kalau ngga sampai Malaysia, ya sampai rumah sakit.

Sampai di hotel (Penang) masih sekitar jam 12 siang, karena cuma 1 malam di Penang, Tas ngga dibongkar. Cuma mandi dan ganti baju. Setelah sore baru jalan-jalan ke KOMTAR (Kompleks Tun Abdul Rajak), semacam pusat pertokoan. Disana window shopping. Just walking-walking. Pulang dari sana mampir makan di warung pinggir jalan. Banyak menu dan pilihannya. Sebelum sampai hotel, mampir beli air mineral dan soft drink. Sama yang jual, saya diajak ngomong pakai bahasa Mandarin. Untunglah saya rajin belajar sama Andy Lau, Jacky Chen, Chow Yun Fat, Stephen Chow dan beberapa lagi guru yang sudah saya lupa namanya. Kursus jarak jauh, lewat lagu, dan film mereka. Terus praktek langsung di Taiwan selama 2 tahun. Ya.... kalau cuma sekedar “wo ai ni' dan “sie sie” pasti sudah hapal luar kepala.
Tadinya saya kira bisa lihat menara Petronas dan sirkuit Sepang. Ngga tahunya masih jauh. Kalau naik bus masih sekitar 5-6 jam perjalanan. Batal deh.

Malam, sehabis makan ngga ada kerjaan. Sama tour leader diajak jalan-jalan pakai becak keliling kota. Ngga seru sih, cuma duduk bengong liat kota orang. Kalau duduk berdua sama pacar sih masih mending. Ini duduknya sama-sama cowok. Bisanya cuma melongo, sepooo. Masih untung ongkos becaknya dibagi dua. Kalau disuruh bayar, mending saya sendiri yang kayuh becaknya. Lumayan khan buat tambahan jajan nanti di Korea.

Pulang dari “kencan” naik becak, sudah harus siap-siap. Besok pagi sekitar jam 5 pagi sudah harus ke bandara udara. Next destination.... Thailand. Negara gajah putih (meskipun ternyata ngga ketemu gajah yang putih disana).

The Spooks Apprentice


The Spooks Apprentice
Judul : The Spooks Apprentice
Pengarang : Joseph Delaney
Tebal : 326 halaman
Lama baca : 28/04/2009 s/d 29/04/2009
Nilai : Bagus

Tadinya saya berharap buku ini besar dan tebal, seperti Magician atau Brisingr. Makanya agak kaget dan kuciwa waktu di toko buku dan ditunjukkan bukunya yang kecil dan imut. 326 halaman dengan ukuran buku yang kecil plus font tulisan yang cukup besar menjadikan buku ini sama seperti snack (ringan dan renyah).
Rencananya sih mau mulai baca tanggal 25 april kemarin, tapi bukunya belum sempat disampul. Akhirnya malah baca ulang komik Detektif Conan Special. Kemarin akhirnya buku ini saya sampul bersama dengan puluhan teman-temannya.

Waktu berangkat kerja sekitar jam 7 pagi, mulai baca buku ini dan akhirnya keterusan. Sampai tiba di kantor sekitar jam 8.45 baru berhenti. Lumayan sudah mencapai halaman ke 156. Agak berat sih untuk berhenti, lagi seru-serunya dan penasaran sama kelanjutannya.

Ceritanya tentang seorang anak yang bernama Thomas J.Ward (Tom), Anak ketujuh dari Ayahnya yang juga anak yang ketujuh. Mempunyai kemampuan untuk merasakan dan melihat makhluk dunia lain. Kemudian dijadikan murid seorang Spook yang bernama Gregory.
Ujian pertamanya Tom ditinggal di sebuah rumah tua berhantu. Sendirian dan cuma dibekali sebatang lilin dan diberi 3 pesan yaitu: jangan buka pintu depan, jangan terlambat ke ruang bawah pada waktu jam 12 tengah malam dan jangan sampai lilinnya padam.

Pembaca pasti sudah bisa menebak kalau Tom lulus, ya...kalau gagal berarti ngga ada lanjutannya. Namanya juga murid dan baru berumur 13 tahun. Tom itu masih perlu banyak belajar, masih terlalu polos sampai ngga sadar kalau dimanfaatkan. Seorang penyihir tua yang bernama Mother Malkin lolos. Tapi sebagai murid yang baik dan Spook, Tom berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang dia buat.

Ceritanya mengalir dengan cepat, ngga bertele-tele. Gampang dicerna seperti snack (kecuali anda mengalami gangguan pencernaan). Meskipun ringan dan renyah tapi rasanya memang enak. Ngga mengecewakan.

28 April 2009

Danau Toba


Setelah masalah gigi selesai, saya meninggalkan Jogya (2001). Tujuan berikutnya adalah LP (Lubuk Pakam), 2 tahun meninggalkan LP, rasanya kangen juga. Sekalian mau perpanjang KTP. Daripada nanti dirazia dan ditangkap.
Karena sudah besar, ngurus KTP sendiri. Pakai sepeda motor, langsung ke kantor Camat. Ternyata sangat gampang dan cepat. Langsung jadi, soalnya saya perlu KTP nya, mau berangkat ke Prapat ( Danau Toba ). Waktu saya tanya biayanya, petugasnya cuma bilang terserah. Bingung juga, masa petugasnya mau kalau cuma saya kasih “terserah”. Padahal sebelum berangkat, Papa saya sudah bilang kalau biayanya paling cuma 5 or 10 ribu. Akhirnya saya kasih 10 ribu. Beres, lagian petugasnya juga ngga protes.

Pergi ke Danau Toba benar-benar mendadak dan ngga pakai persiapan. S.Kok saya culik untuk menemani. Sudah lama ngga ketemu dan sekalian ngomongin bisnis. Rencananya mau ternak ikan hias. Dari LP naik bus dan turun di Pematang Siantar. Habis itu bingung mau naik apalagi, akhirnya ada taksi dan sepakat naik itu dengan membayar 60 ribu.

Terakhir kali ke Danau Toba waktu perpisahan SMP (1990). Sudah 11 tahun, tapi kok rasanya ngga banyak berubah. Cuma agak sepi, atau mungkin karena bukan musim liburan atau akhir pekan. Dari sana naik perahu, nyeberang ke pulau Tuk Tuk. Nginap disana.

Pulaunya kecil, hotelnya lupa namanya. Cukup nyaman. Depannya langsung Danau Toba. Ada banyak ikan (sejenis nila atau mujair), lumayan besar. Ada yang jual pancing, jadi beli pancing dan mancing disana. Ikan yang dapat dikumpulin dan dimasukkan ke kolam dekat kamar hotel. Tinggal di pulau Tuk Tuk seperti terpisah dari dunia luar. Jadi ingat acara reality show “Survivor” di TV. Suasananya sama, cuma beda makan dan tidurnya. Kalau Survivor harus setengah mati cari makanan, disini tinggal ke lobby atau angkat telpon. Tidur juga nyaman pakai AC.

Dua hari nginap disana. Lumayan buat refreshing. Bangun pagi, makan terus renang atau mancing. Jalan-jalan sampai sore. Habis itu mancing atau renang lagi. Kalau sudah malam baru bingung mau ngapain. Gelap, akhirnya cuma di kamar dan ngobrol. Cerita, mulai dari masa lalu (zaman dinosaurus) sampai masa depan.
Balik lagi ke LP, ngga lama kemudian saya diberitahukan kalau sebentar lagi akan berangkat ke Korea.

Sisik Mutiara (Pearl Scale)


Tahun 2001, waktu saya pulang ke LP, di lantai atas rumah ada kolam besar ukuran 3 x 8 dan tingginya 1,5 meter. Tadinya dibuat koko untuk piara ikan bawal. Tapi ngga jadi. Lagian agak berbahaya. Dengan ukuran sebesar itu dan diisi air penuh, takutnya ngga kuat. Terbukti lantai 2 ada sedikit resapan air di langit-langitnya.

Sayang juga kolam sebesar itu ngga dimanfaatkan. Apalagi saya yang hobi ikan. Waktu saya cerita sama Koko rencana saya untuk piara ikan hias, dia setuju. Lagian kolamnya itu juga sudah disekat menjadi 3 kolam. 1 besar dan 2 agak kecil. Malah saya diajak ke tempat temannya yang punya peternakan ikan hias. Disana beli bibit ikan koki pearl scale (sisik mutiara). Itu lho, ikan yang bentuknya bulat menggemaskan seperti bola. Badannya bintil-bintil, kalau berenang megal-megol.

Masih kecil sih, baru sekitar 2-3 cm dan ada sekitar 500 ekor. Borong 1 kolam harganya sekitar 150 ribu atau 200 ribu (sudah lupa). Senang juga bisa jalan-jalan dan lihat koleksi ikan hias meskipun milik orang lain. Singkat cerita ikannya dibawa pulang dan pindah ke kolam di atas rumah.
Ohya, kebetulan koko punya pompa air. Saya tinggal membuatkan tempat untuk filternya. Tapi perlu juga ke toko buat beli kabel, selang dan aerotor (alat untuk buat gelembung udara). Juga beli terpal plastik untuk tutup kolam. Kalau pas siang hari ditutup, supaya ngga terlalu panas dan airnya ngga cepat kotor atau tumbuh lumut.

Faktor utama memelihara ikan hias adalah kolam, air, ikan dan makanan. Paling bagus kalau diberi pakan alami. Untuk masa pertumbuhan yang bagus adalah cacing sutera. Karena sebagian masih kecil, cacing sutera itu saya cincang biar agak halus. Ya, ibarat ngasih makan mie buat anak kecil. Khan harus dipotong-potong biar gampang dimakan.
Tiap 3-4 hari sekali beli cacing sutera. Sekali beli 2 kaleng susu banyaknya. Harganya kalau ngga salah waktu itu sekitar Go Ceng ( 5 ribu ). Asyik juga sih, jadi ada kesibukan. Beli cacingnya agak jauh, pakai sepeda motor. Yang jual juga punya peternakan ikan hias. Masih ingat dengan cerita “ikan ajaib” yang saya posting beberapa waktu lalu. Nah.... disanalah tempat kejadian itu.

Kalau sudah kesana, paling cepat 2 jam baru pulang ke rumah. Biasanya sampai sana langsung jalan-jalan keliling dari satu kolam ke kolam yang lain. Kadang ngobrol sama yang punya atau karyawannya. Atau ngobrol sama teman yang kebetulan juga kesana.

Minimal satu hari 2 kali saya ke atas lihat ikan. Bangun pagi dan waktu sore sekitar jam 5. Enak juga buat hilangin stress. Capeknya kalau mau ganti air. Pembuangan airnya terlalu kecil. Makanya lambat. Kalau mau nguras kolam, jam 5 pagi sudah mulai saya buang airnya. Biar bisa selesai cepat, sebelum panas.

Sisik mutiara dibesarkan di kolam yang besar, di kolam yang kecil saya piara ikan koki jenis Red Cap dan Oranda. Ada 2 pasang yang sudah dewasa, katanya diberi oleh temannya koko. Ngga sampai 1 minggu saya piara sudah bertelur. Cuma dikit, waktu netas dan sudah mulai kelihatan, saya hitung jumlahnya cuma sekitar 100 ekor. Normalnya minimal 500 ekor atau bahkan ribuan ekor sekali netas.

Dua bulan kemudian sisik mutiar sudah besar, dari sekitar 500 ekor sisa sekitar 200 ekor. Rata-rata perutnya sudah sebesar bola golf, bahkan ada beberapa yang lebih besar. Ada sekitar 20 ekor yang saya pilih, rencananya mau dijadikan indukan. Ada yang warnanya hitam putih seperti panda. Lucu.
Sayangnya rencana itu ngga terwujud, saya keburu berangkat ke Korea. Semua ikannya dijual, Koko ngga ada waktu ngurusin.

25 April 2009

Gigi ( Jogya 2001 )


Naik bus dari Bogor ke Jogya. Berangkatnya sekitar jam 11 siang. Sampai di terminal Jogya sekitar jam 4 pagi. Barang semua sudah saya packing ulang. Tinggal 1 koper ukuran medium, dan satu tas ransel.

Seperti biasa, adik saya (Sud) yang kebagian jemput. Karena masih terlalu pagi, sungkan juga sih. Meskipun sewaktu berangkat tadi sudah ada pemberitahuan ke Sud. Saya telpon Sud dari wartel di terminal (belum sempat beli HP sejak tiba di Indonesia), untunglah Sud siaga 24 jam. Setelah tahu kalau saya sudah ada diterminal, dia langsung berangkat dari tempat kostnya. Sambil menunggu dijemput, saya minum teh di warung.

Sampai di tempat kost baru jam 5 pagi. Setelah ganti baju dan beresin barang, ngobrol dengan Sud. Paginya baru diajak ketemu dengan teman-teman yang ada di Jogya. 2 tahun ngga ketemu rasanya ngga banyak yang berubah. Cuma saya yang dapat tambahan julukan “Mahong (mafia Hongkong)”, padahal khan saya ke Taiwan, bukan Hongkong. Harusnya jadi “Matai (mafia Taiwan)”.
Sud sudah kerja, adik saya yang paling kecil (Mel) juga sudah kuliah di UPN Jogya. Ohya, HP saya yang dari Taiwan saya kasihkan ke Mel, Hpnya hilang waktu naik bis. Selama di Jogya beberapa kali makan-makan bareng Sud dan Mel.

Di jogya, Sud mengenalkan dokter gigi ke saya. Kebetulan saya mau servis gigi. Masih ingat kejadian waktu ke dokter gigi di Taiwan yang disuruh cabut, saya ngga mau. Makanya sekarang, mumpung bisa saya konsultasi ke dokter gigi rekomendasi Sud. Ternyata memang ngga perlu dicabut, bisa ditambal. Memang lebih canggih Indonesia.

Gigi itu memang sudah lama bermasalah, keropos di dalam dan sudah mulai berlubang. Belum sakit sih, tapi daripada nanti terlambat, mendingan dibetulin sekarang. Ternyata benar dugaan saya benar, setelah diperiksa dan dinyatakan perlu perbaikan, gigi saya langsung dipermak. Tanpa basa-basi langsung dibor sama dokternya. Begitu dibor dan berlubang, keluarlah bau yang semerbak dari gigi tersebut. Saya yang lagi “dikerjai” dokter cuma bisa mengerutkan dahi dan dalam hati berpikir,”buset... kok bau banget ya.” Untunglah dokternya pakai masker (meskipun mungkin ngga bisa banyak membantu menghilangkan baunya), tapi untunglah dokternya ngga jatuh pingsan dengan bau itu. Mungkin ini alasan dokter Taiwan ngga mau tambal gigi itu, ngga kuat sama baunya, he he..

Penderitaan belum berakhir, giginya ngga bisa langsung ditambal karena rusak parah. Akibatnya saya kesulitan makan. Sama Sud dibuatkan juice buah. Ya, akhirnya diet, cuma minum juice. Tapi beruntung gigi akhirnya bisa ditambal dan sampai sekarang masih OK.

24 April 2009

Bogor


Tahun 2001 kembali ke Indonesia. Lewat bandara internasional Soekarno Hatta di Jakarta. Kedua tangan penuh dengan bawaan. Saya waktu itu bareng dengan Santo, rencananya mau nginap dulu sekitar 1 minggu dirumahnya, daerah Bogor.

Waktu mau keluar Santo dicegat petugas, kopernya disuruh dibuka dan diperiksa. Memang di dalamnya banyak CD lagu dan film yang dibeli selama 2 tahun di Taiwan. Setelah tanya jawab sekitar 5 menit, akhirnya dilepas. Lagian antrian orang di belakang juga semakin banyak. Saya yang waktu itu di belakang Santo cepat-cepat nyelonong dan pergi. Selain bawa CD yang banyak, saya juga bawa XO (minuman) untuk oleh-oleh. Untungnya lewat dengan sukses.

Diluar, ortu Santo sudah menunggu. Dan kami berdua diangkut dan dibawa pulang ke Bogor. Setelah mandi, beresin barang bawaan dan istirahat, malamnya langsung jalan-jalan dan ketemu dengan teman Santo. Ngobrol.
Keesokan harinya ke Jakarta, jalan-jalan dan sekalian cari money changer (mc). Mau tukar NT taiwan ke Rupiah. Putar-putar sampai 2 jam ngga nemu mc yang cocok. NT ditawar murah. Hampir putus asa, dan akhirnya lihat ada tulisan mc kecil. Sebenarnya lebih tepat disebut toko sepeda daripada money changer. Soalnya ruko itu isinya sepeda, tulisan mc nya kecil. Sempat ragu untuk masuk.

Setelah parkir dan coba tanya untuk memastikan apakah benar-benar mc dan bukannya toko sepeda, akhirnya kami dipersilahkan masuk. Ternyata mc nya ada di lantai 2, memang kecil sih. Tapi harga yang ditawarkan menarik. Paling tinggi dibandingkan semua mc yang telah kami kunjungi selama 2 jam. Setelah tawar-menawar, akhirnya sepakat.
Gara-gara keliling cari mc, perut jadi lapar. Diajak Santo makan mie. Pulangnya mampir ke supermarket belanja dan pulang ke rumah.

Di Bogor cuma jalan-jalan dan mencoba makanan khas disana. Setelah itu saya melanjutkan perjalanan lagi ke Jogya untuk ketemu dengan adik saya.

22 April 2009

The Thirteenth Tale ( Dongeng Ketiga Belas )


Judul : The Thirteenth Tale ( Dongeng Ketiga Belas )
Pengarang : Diane Setterfield
Tebal : 608 halaman
Lama baca : 08/04/2009 s/d 22/04/2009
Nilai : Bagus

Bukunya sih sudah lumayan lama belinya. Cuma baru sempat baca sekarang. Waktu bacanya juga lama (14 hari), bukan karena ceritanya ngga menarik. Tapi kebetulan aja lagi liburan 2 hari. Ditambah lagi banyak komik baru yang muncul waktu itu.

Ceritanya berlapis. Cerita di dalam cerita. Tentang penulis biografi muda yang bernama Margaret Lea, yang tinggal bersama dengan kedua orangtuanya. Ayahnya punya toko buku yang berisi ribuan buku. Dan ayahnya sering membawakan buku-buku kecil, berupa naskah, biografi, autobiografi, memoar, buku harian dan surat-surat yang merupakan kegemaran Margaret.

Dimulai waktu Margaret mendapatkan sepucuk surat dari Vida Winter, penulis cerita yang terkenal. Vida meminta Margaret untuk menulis biografi dirinya, karena merasa tertarik dengan Margaret setelah membaca esai The Fratenal Muse, tulisan tentang kakak beradik Landier, Jules dan Edmond.
Margaret merasa aneh, dan mulai mencari berita tentang Vida Winter. Ternyata beberapa kali Vida selalu menceritakan kisah hidupnya yang berbeda-beda ke setiap penulis. Margaret mulai mencoba membaca buku karangan Vida dan tertarik. Singkat cerita Margaret menemui Vida untuk menulis biografinya, tapi dengan syarat. Dan, ceritapun dimulai darisana.....

Boleh dibilang ini cerita misteri, pembaca diajak untuk ikut berpikir dan menebak kelanjutan cerita. Memilih sendiri mana cerita yang utama dan mana yang cuma sisipan untuk menyesatkan.
Senang juga sih, akhirnya bisa selesai baca buku ini. Mungkin untuk 1 atau 2 hari kedepan akan puasa baca novel dulu. Masih mau meresapi cerita yang menarik ini.

Farewell Party


Kerja di Taiwan sistem kontrak, tiap tahun diperpanjang kalau terjadi kesepakatan antar pihak pabrik dan karyawan. Rata-rata 2 tahun yang kerja disana. tapi ada juga yang cuma 1 tahun atau bahkan kurang karena ngga betah. Ada juga yang sampai 3 tahun.
Ngga terasa 2 tahun sudah berlalu ( 1999 – 2001 ). Waktunya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, negeri tercinta Indonesia Raya. Merdeka......

Sebulan sebelum pulang ke Indonesia, sudah persiapan. Hari minggu pergi jalan-jalan dan belanja. Enak juga sih dapat teman yang kompak, waktu datang 4 orang dan waktu mau pulang juga 4 orang. Subali, suatu hari ngajak jalan-jalan. Dia dengar dari orang Taiwan, ada tempat bagus. Lokasi buat shooting film. Akhirnya kami setuju dan ikut.

Berangkat naik taksi, Subali yang menjelaskan alamatnya. Kami cuma nurut dan ikut aja. Waktu sampai ditujuan dan turun dari taksi rada bingung, kok ngga seperti yang dibayangkan. Ngga tahu apakah memang bahasa Taiwan Subali yang jelek, atau supir taksinya yang buta arah. Kami berempat malah diantar ke museum. Terlanjur basah, sekalian mandi. Sudah kadung tersesat, sekalian jalan-jalan. Meskipun kecewa, yang penting tetap jalan-jalan.

Sejak mau pulang, semangat kerja juga sedikit mengendur. Sering menolak lembur dan yang paling parah bolos kerja dengan pura-pura sakit. Caranya gampang aja. Datang aja ke klinik atau rumah sakit, bilang aja batuk dan minta obat. Cuma bayar 100 NT (karena punya kartu seperti JAMSOSTEK). Jangan lupa minta surat keterangan sakit dari dokter, ini yang paling penting. Biar ngga dipotong gaji.

Pernah gara-gara mau bolos 2 hari, saya sampai berkunjung ke 2 tempat. Dokter umum dan dokter gigi. Di dokter umum cuma diperiksa dan bilang batuk. Langsung OK. Dari sana mampir ke dokter gigi, kebetulan ada gigi saya yang bolong. Katanya ngga bisa ditambal, harus DICABUT. Wah.... saya langsung protes dan bilang ngga mau. Lagian tujuan saya kesana khan cuma mau dapatkan surat keterangan sakit, bukannya jadi sakit benaran (kalau gigi saya dicabut). Untunglah akhirnya beres, dapat 2 surat dokter dan bebas kerja 2 hari.

Beberapa hari sebelum pulang ke Indonesia, kami ber 4 ngadain pesta. Paling meriah sepanjang sejarah di pabrik. Jarang ada yang pulang sekaligus 4 orang. Makanannya pesan KFC, ditambah kacang, snack dan lainnya yang bisa dimakan dan dijual di minimarket. Minumannya juga macam-macam. Dari yang bening sampai warna-warni. Dari yang tawar, manis, asin sampai pahit semuanya ada. Sepanjang lorong dan kamar tempat pesta kacau balau. Salah satu kamar yang sound systemnya paling OK dijadikan tempat joget. Yang kebetulan masuk shift malam curi-curi waktu datang. Pesta berlangsung dari jam 7 malam sampai jam 2 pagi. Dilanjutkan dengan acara bersih-bersih kamar dan pel lantai.

Diakhir acara, kami ber 4 pakai seragam pabrik. Terus satu persatu teman-teman tanda tangan dibaju tersebut. Kok jadinya mirip kelululusan sekolah ya....
Good Bye Taiwan.

21 April 2009

Memories of Taiwan


Waktu berangkat ke Jogya, lagu yang mengiringi “yogyakarta” dari KLA Project. Dan ke Taiwan diiringi dengan lagu Katon Bagaskara yaitu “Menjemput Impian”. Kadang waktu berjalan sangat lambat, menghitung hari adalah favorit semua orang. Tapi, tiba-tiba sudah waktunya kembali ke Indonesia.

Padahal serasa baru sampai di Taiwan, masih terbayang waktu pertama kali kerja. Waktu banjir di pabrik, sehingga libur dan akhirnya banyak yang pergi internetan dan main bilyard. Hiburan murah meriah adalah internet, ambil paket 6 jam (dari jam 12 malam samapi 6 pagi). Biasanya sih kalau malam minggu dan besoknya libur.

Pernah beberapa kali nonton film, dan beli cd bajakan baik lagu maupun film yang biasanya dijual dibawah jembatan atau pasar malam. Sering juga sih beli album cd lagu yang asli. Selain harganya ngga seberapa mahal, kemasan, kualitas dan kadang bonusnya menarik.

Tempat jalan-jalan favorit ada di Shi Men Ting, Taipei. Bisa cuci mata (bahkan cuci muka, cuci kaki, cuci badan sekalian mandi), nonton, beli HP dan barang elektronik lainnya. Selain itu, tiap sabtu dan minggu bisa lihat artis manggung/nyanyi disana. Kebanyakan sih artis lokal seperti Jolin Tsai, kelompok BAD dan MAYDAY, seringnya penyanyi yang promosi album baru. Sayangnya ngga ketemu Andy Lau disana.....

Makanan favorit, ayam bakar yang jualan dekat pabrik. Selain harganya murah, dagingnya empuk dan lezat. Cocok dengan lidah Indonesia. Yang kedua adalah sejeni hotdog yang dijual di 7 Eleven. Kombinasi roti, daging dan saosnya, mmmm mak nyus.... Kalau minuman banyak, saya suka semuanya yang dingin. Paling sering beli juice jeruk botolan, juga teh melati plus susu yang dikemas dalam botol plastik 600 ml. Warnanya hijau pupus. Wangi dan enak. Sering juga beli macam-macam milk tea (sekarang banyak dijual di mal).

Siaran TV kabel full 24 jam, seringnya sih nonton HBO dan Star Movie. Kalau masuk shift malam sering nonton film kartun seperti Hunter X / X Hunter, Mini 4WD, dan Real Master Cooking Boy. Radio nyala terus kalau kerja, enak. Kerja jadi terasa santai. Meskipun yang didengar tiap hari cuma lagu mandarin dan sedikit lagu barat. Coba kalau ada selingan lagu Indonesia, pop, dangdut, keroncong. Pasti deh.... tidur.... He he...

Kerja di Taiwan banyak warisan, seperti sepeda, TV, tape, kulkas dan bahkan kasur dan lemari. Biasanya dapat dari senior yang dulu. Sering juga nemu dijalan, atau bisa juga ada teman yang beli dengan harga murah dan ngga dibawa sewaktu masa kontrak kerja habis.
Ya, kadang kangen juga sih. Balik lagi ke Taiwan. Bukan untuk kerja lagi, tapi jadi turis.

20 April 2009

Pinang


Aneh juga waktu pertama kali tiba di Taiwan dan lihat orang-orang makan pinang. Ngga cuma orang tua, tapi anak muda yang baru belasan tahun juga makan. Yang saya tahu kalau di Indonesia cuma nenek-nenek yang suka makan/ngunyah pinang, dibungkus dengan daun sirih plus sedikit kapur. Kadang malah ditambah irisan tembakau kering.

Kalau di Indonesia, pinang yang digunakan adalah isinya yang masih muda, kemudian dipotong dan dibungkus dengan daun sirih dan sedikit kapur. Irisan tembakau lebih sering dikunyah dan digosok-gosokkan ke gigi. Katanya sih buat gigi jadi kuat ( kayak iklan pasta gigi aja ).

Di Taiwan, pinangnya juga pinang muda. Tapi seluruhnya. biji plus kulit luarnya. Makanya dipilih pinang yang masih muda sekali dan kecil. Dijual perbungkus dengan isi sekitar 10 biji. Banyak dijual dipinggir jalan.
Efek yang ditimbulkan seperti ngisap rokok, bisa kecanduan. Dan katanya enak. Kalau bikin gigi jadi kuat ngga tahu apakah benar atau ngga. Yang pasti, kalau makan itu mulut dan sekitarnya pasti jadi merah seperti berkarat. Ludahnya juga begitu. Kebiasaan buruk yang makan, mereka sering sembarangan meludah. Jadi banyak bercak merah dimana-mana.

Ada orang Taiwan, seperti ibu-ibu umumnya yang kerja di pabrik sebagai operator mesin. Oleh teman-teman dari Indonesia diberi nama “Doraemon.” Soalnya kalau kerja suka pakai celemek yang banyak kantongnya. Isinya kebanyakan permen dan pinang. Orangnya galak, dan susah sekali kalau mau pinjam sapu atau peralatan lainnya.
Doraemon yang satu ini ngga suka dorayaki, tapi senangnya makan pinang. Pertama kali ketemu juga rada takut, selain dengar desas desus kalau dia galak. Juga rada serem waktu lihat dia makan pinang. Sekeliling mulut jadi merah, kalau senyum atau ketawa malah tambah mengerikan. Kelihatan giginya yang merah, seperti vampire yang difilm.

Tapi ternyata kalau sama saya kok baik. Mau pinjam apa aja gampang (kecuali pinjam duit, he he...). Sering juga dikasih permen dari “kantong ajaibnya”, kadang ditawari makanan. Semua saya terima kalau dikasih, kecuali kalau ditawari pinang. Hiiiiiiii....Takut jadi Vampire.

18 April 2009

Kunimitsu


Satu minggu ini saya lagi mogok baca novel. Sebagai selingan saya baca komik. Banyak sih komik baru yang terbit hampir tiap bulan. Puluhan judul yang saya ikuti. Tapi kali ini yang saya bahas adalah “Kunimitsu”. Komik yang ceritanya tentang politik, cocok untuk dibahas karena baru tanggal 9 april 2009 kemarin kita melaksanakan pemilihan caleg.

Baca novel seperti makan nasi, itu makanan pokok, yang paling utama untuk perut orang Indonesia umumnya. Tapi kalau terus-terusan nasi, lama-lama juga bisa bosan. Makanya perlu baca komik sebagai selingan. Anggap aja komik itu sebagai mie atau roti. Sedangkan majalah, tabloid, koran dan lainnya dianggap sama seperti snack dan buah. Semuanya perlu komposisi dan waktu pergantian yang tepat supaya tidak mengganggu kesehatan dan saluran pencernaan.

Seri terakhir yang saya baca adalah nomor 18, sekitar satu bulan yang lalu. Aneh juga, padahal seri 1 sampai 17 sudah lama terbit, dan setelah berhenti sekian lama akhirnya keluar lagi lanjutannya. Mungkin komik ini kurang peminatnya atau ada masalah apa, sehingga tertunda dan baru dilanjutkan lagi sekarang. Tapi momennya pas dengan situasi pemilu.

Ceritanya tentang seorang pemuda bernama Kunimitsu Mutou yang baru lulus SMU, pintar membuat Soba (mie khas Jepang). Punya idealis tinggi untuk mengubah pemerintahan Jepang.
Diawal cerita suka berkata seperti ini,” Aku pemuda 18 tahun yang dibesarkan di EDOSHITA, dimandikan pertama kali di sungai SUMIDAGAWA, dididik dengan iringan TAIKO yang mengalunkan lagu KOMORI. Nama keluarga MUTOU, namaku ditulis dengan huruf Kuni (negara) dan Hikari (cahaya).”
Walaupun urakan, tapi Kunimitsu orangnya jujur dan kadang punya ide yang cemerlang. Mengikuti perjalanan kariernya dalam membantu Sakagami Sensei dalam pemilihan walikota benar-benar menarik. Segala macam cara digunakan oleh pihak lawan untuk menjatuhkan kubu Kunimitsu. Untunglah Kunimitsu juga dibantu seorang jenius ( Azuma) yang bertugas sebagai penasehat. Mirip dengan tokoh Kong Ming atau Zu Ge Liang dalam legenda Sam Kok.

Ohya, skalian promosi film Red Cliff I dan II, OK banget. Siasat perang dan taktik dalam legenda Sam Kok bisa divisualisasikan dengan bagus oleh sutradara beserta semua pemainnya. Cuma sebagian kecil dari keseluruhan cerita Sam Kok yang diceritakan dalam dua seri Red Cliff, tapi sudah memakan waktu 2 jam lebih untuk tiap serinya. Sam Kok sudah sering dibuat filmnya, baik yang lepasan terbaru seperti Red Cliff dan Three Kingdoms. Juga banyak versi serialnya. Belum lagi buku dan komiknya yang mengambil nama tokoh atau cerita dalam Sam Kok. Seperti dalam komik Legenda Naga dan The Four Warriors.

Ok, kembali ke Kunimitsu, komik karangan Yuma Ando dan Masashi Asaki.... Pokoknya bagi pecinta komik yang mau mencari cerita dengan tema yang baru karena bosan dengan cerita tentang silat, olahraga dan lainnya. Kunimitsu sangat disarankan. Selain itu side story waktu dia nyamar jadi guru juga mengharukan. Bisa membuat anda meneteskan airmata (kecuali hatimu dari batu, he he...).
Silahkan cari dipersewaan, bacalah, tertawa dan menangislah. Mumpung semua itu belum dilarang.

Mancing Udang


Mancing ikan adalah hal yang umum, banyak dilakukan dan ditemukan di Indonesia. Demikian juga dengan mancing keributan, dan mancing kerusuhan. Kalau mancing udang juga ada, cuma agak jarang. Paling orang lebih suka nangkap udang daripada mancing. Jadi ingat waktu kecil, mandi di kali atau bendungan sambil nangkap ikan dan udang. Biasanya udang kecil yang didapat langsung dikuliti dan dimakan mentah. Rasanya manis plus amis.

Di pabrik (Taiwan), ada kenal baik dengan salah seorang Lao Ta (mandor). Sebelum jadi mandor, dia diserahin tugas ngawasin bagian amplas pelat buat casing. Kebetulan yang pegang mesin itu saya dan Susanto. Kevin (nama keren mandornya) belajar mengoperasikan mesin itu dari kami berdua, tapi akhirnya malah dia jadi lebih pintar karena memang mesinnya pakai bahasanya.

Satu hari, selesai kerja dari shift malam saya dan beberapa orang anak Taiwan (anak sekolah setingkat SMU yang magang di pabrik) diajak untuk mancing udang. Walaupun baru pulang kerja, capek dan ngantuk, saya ok aja. Penasaran mau tahu seperti apa.

Tempat pemancingannya agak jauh dari pabrik, kesananya naik mobil Lao Ta. Kolamnya indoor dan dilapisi keramik. Dalamnya sekitar 1 meter, diberi oksigen. Airnya butek dan ngga kelihatan dasarnya. Bayarnya perjam/orang sekitar 100 NT. Dipinjami pancing yag matanya ada 2-4 biji dan umpannya hati ayam.
Hati ayam dipotong kecil-kecil, dipasang ditiap mata pancing. Setelah itu biarkan tenggelam sampai dasar. Terus gerakkan pancing pelan-pelan ke kiri dan kanan. sampai terasa kalau ada yang nyangkut. Angkat pelan-pelan supaya udangnya ngga jatuh. Ternyata asyik juga, waktu ngga terasa berlalu. Setelah 3 jam mancing, akhirnya udangnya dibakar dan langsung dinikmati disana.
Balik lagi ke pabrik sudah sekitar jam 11 pagi, ngantuk dan capek baru terasa. Akhirnya tidur nyenyak dan bangun jam 5 sore. Siap-siap lagi untuk makan dan kerja lagi.

Sekitar tahun 2006 atau 2007 di Indonesia sempat ramai LAT (Lobster Air Tawar). Tapi setelah itu seperti hilang dari peredaran dan ditelan bumi. Ya, siapa tahu ada orang yang mau investasi dan buat kolam pemancingan LAT di Indonesia. Seperti kolam pancing. Plus disediakan menu dan masak ditempat. Atau ditambahi sedikit mainan dan hiburan buat anak-anak dan keluarga. Ayo..... siapa yang mau modalin, biar saya aja yang jalankan. he he....

17 April 2009

Lovebird


Binatang peliharaan favorit nomor 2 adalah burung. Sedangkan ikan hias tetap number one. Sebenarnya sih suka dengan segala macam binatang. Mungkin kalau suatu saat, setelah saya pensiun dengan uang berlebih. Akan saya belikan pulau yang luas dan dibuatkan seperti suaka margasatwa dan suaka alam. Terbuka juga buat orang-orang yang kabur dan mau minta suaka, he he...

Bakat mencintai dan memelihara binatang sudah mulai kelihatan sejak kecil, waktu zamannya shampo dan sabun masih jarang digunakan. Kepala jarang keramas dengan shampo, sehingga jadilah kepala itu sarang kutu. Dan akan semakain banyak kalau dapat titipan dari tetangga. Ya, karena kutu juga termasuk binatang dan tinggalnya(dipiara) di kepala maka boleh dong kutu disebut binatang peliharaan.
Tapi, sudah lama kok saya ngga piara kutu. Suer....

Tahun 1990 mulai suka burung. Waktu itu Om pindah rumah dan salah satu kandang burungnya diwariskan ke saya. Pertama bingung juga mau diisi apa. Yang pasti kalau diberi kandang burung harus diisi dengan burung, bukannya diisi dengan gajah atau kuda. Pasti ngga cocok. Masalahnya adalah mau diisi burung apa? Selama ini yang saya kenal cuma jenis 'mprit(pipit) dan kutilang.

Kutilang jenis burung favorit saya, adik dan koko saya. Biasanya beli waktu masih kecil, supaya nanti besarnya bisa jinak. Meskipun sangkarnya dibuka dan dilepas, pasti bisa kembali lagi. Tapi sering kali kutilangnya dimakan kucing. Ya... kadang kutilang itu terlalu jinak dan polosnya, sehingga waktu kucingnya mendekat dan menerkam, dianya cuma diam dan pasrah menerima.

Karena bingung memilih, untuk sementara kandangnya dibiarkan kosong. Tapi tidak berlangsung lama. Waktu saya kursus komputer dengan teman sekelas di Medan. Saya dan teman ke jalan Bintang. Dekat dengan tempat kursus komputer yang ada di daerah Thamrin. Jalan Bintang di Medan adalah surga bagi pecinta burung. Sepanjang jalan, kiri-kanan, depan-belakang penuh dengan berbagai macam burung. Dari yang warnanya satu macam sampai bermacam-macam. Dari ukuran jempol sampai sebesar kaki, ada yang bisa bersiul, bernyanyi, ngomong. Wah, pokoknya banyak.
Gara-gara kenal dengan jalan Bintang, saya dan teman sering bolos dari kursus komputer. Sering kabur dan ke jalan Bintang lihat burung. Kadang kalau datang kepagian dan kursus belum mulai, kami main video games dulu. Sampai lupa waktu dan tahu-tahu kursusnya sudah mulai.

Setiap toko dikunjungi dan dimasuki, dengan cuek dan pede tanpa sungkan tanya-tanya sama yang jaga. Setelah capek keliling, akhirnya saya memutuskan untuk membeli sepasang (menurut yang jual) burung Lovebird. Saya tertarik dengan namanya yang unik, juga suaranya yang ribut. Warnanya hijau rumput. Harganya Rp.40.000,- Fisiknya seperti burung kakaktua, tapi kecil, cuma sekitar 10-15cm.

Akhirnya nemu juga penghuni yang cocok buat kandang burung. Tiap pulang sekolah, langsung ke belakang rumah mengunjungi mereka. Bersihkan kotoran dan mengganti air minumnya. Kadang juga memandikannya dengan cara disemprot pakai sprayer. Membersihkan kulit makanannya. Mereka suka kuaci bunga matahari yang tawar juga biji-bijian sejenis jewawut.

Saya bisa duduk sampai berjam-jam cuma memandang kedua ekor burung itu. Lucu mendengar mereka mengeluarkan bunyi mencicit. Tingkahnya seperti sepasang kekasih, saling menggigit dan menggaruk. Selalu berduaan. Nempel terus. Mungkin gara-gara itu mereka dinamakan Lovebird.

16 April 2009

Shift Malam


Boleh dibilang shift malam selalu ditunggu semua karyawan. Walaupun jam kerja lebih panjang (12 jam) tapi bayarannya juga besar. Saya sendiri baru kebagian shift malam setelah kerja hampir 4 bulan. Sudah lumayan mahir. Rasanya senang waktu dibilang masuk shift malam. Terbayang dalam benak saya uang yang akan diterima waktu gajian.

Tapi ternyata shift malam ngga seindah yang dibayangkan. Hari pertama dan kedua memang masih bersemangat, setelah itu baru mulai terasa muncul berbagai macam masalah. Shift malam berlangsung selama 3 bulan dan bergilir, kebetulan yang sekamar cuma saya sendiri yang shift malam. 2 orang teman kebalikannya. Pulang kerja pagi jam 8 dan setelah mandi dan makan terus nonton tv sebentar, kira-kira jam 10 pagi baru bisa tidur. Jam 12 siang istirahat makan yang shift pagi, biasanya teman teman pulang dan masuk kamar. Dengar suara ribut mau ngga mau pasti terbangun. Setelah itu jam 5 sore harus bangun untuk makan atau bungkus makanan di kantin. Dan jam 7 sudah harus mulai mandi dan siap-siap kerja. Dengan jam tidur yang putus-putus seperti itu, ngga heran kalau waktu kerja sering ngantuk. Apalagi kalau kebagian kerja ringan, monoton dan cuma duduk diam di tempat.

Kalau kebetulan dapat grup yang bisa diajak kerjasama memang enak, kerjanya bisa gantian, biar ngga bosan dan ngantuk. Tapi kadang ada juga teman yang susah diajak kerjasama. Ngga heran kadang jutek juga.
Ada satu orang Taiwan bagian Quality Control, waktu sedang cek barang dan lihat saya lagi jutek, dia bilang begini (saya langsung terjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia),” kenapa harus jutek? Satu hari tetap akan berlalu, biar kamu sedih atau senang. Jadi, kalau bisa senang, kenapa harus sedih?”

Memang benar sih kata-katanya, satu hari akan berlalu (itu sudah pasti). Tapi sedih atau senang itu susah diprediksi. Kalau bisa memilih, pasti semua akan memilih senang. Ya, mungkin maksudnya kalaupun kita sedang sedih, tapi jangan berlarut-larut. Cepatlah senang kembali.
Hidup ini indah, like it, enjoy it and Just Do It.

14 April 2009

Mie Instant


Mie instant boleh dikatakan sebagai makanan pokok kedua setelah nasi. Selain cepat saji, enak, banyak pilihan rasa dan harganya juga ngga memberatkan kantong. Sebenarnya banyak mie Taiwan dijual di mini market ( 7 eleven ) dekat pabrik. Tapi karyawan Indonesia lebih senang beli mie instant dari Indonesia. Tiap kali gajian ada yang datang jualan barang-barang dari Indonesia.

Kalau masuk shift malam, saya suka beli mie instant yang cukup diseduh air panas (seperti pop mie), tapi yang ini bungkusnya besar dan ada potongan daging yang lumayan besar. Kalau masuk shift pagi dan lembur sampai malam (jam 8 sampai kadang jam 10 malam), pulangnya cuma masak Indomie goreng atau kuah plus telur. Biasanya masak untuk 3-5 orang. Ada yang bagian masak, dan ada yang bagian cuci.

Pertama kali sampai dan makan masakan Taiwan yang berminyak, perut langsung protes. Di dalam rasanya seperti ada tsunami, bergemuruh. Akhirnya ya... mencret. Untungnya cuma 1 hari, setelah itu mulai terbiasa.
Kalau hari minggu dan tidak lembur, bisa ke Tao Yuen. Naik kerete api sekitar 30 menit. Di sana banyak orang Indonesia kumpul. Juga ada rumah makan Indonesia. Ketemu dengan Cai dan C.Seng di sana. Main video games, makan dan jalan-jalan.

Pertama kali ke Tao Yuen bareng sama teman-teman. Ngga ada masalah, mulai berangkat dari pabrik naik bis ke Taipei, setelah itu naik kereta api tujuan Tao Yuen. Yang kedua nekad berangkat sendiri, naik bis ke Taipei ngga masalah. Waktu naik kereta api lupa yang mana stasiun Tao Yuen, jadi kira-kira aja. Begitu sudah sekitar 30 menit dan kereta apinya berhenti langsung cepat-cepat turun. Kebetulan ada orang Taiwan dan dengan bahasa pas-pasan nekad tanya,” Ce Li Se Tao Yuen Ma? ( sini Tao Yuen ya?” dan dijawab,”Pu Se (bukan)..... Langsung cepat-cepat naik lagi dan masuk dalam kereta api (yang untungnya belum berangkat). Ternyata Tao Yuen ada di stasiun berikutnya. Setelah diperhatikan, ternyata banyak orang Indonesia yang turun di sana. Saya ikut aja, dan memang benar. Akhirnya sampai juga.

Waktu pulangnya naik kereta api dari Tao Yuen ke Taipei ngga masalah. Stasiun Taipei gampang dikenali karena khas dan ramai. Dari Taipei naik bus ke pabrik yang jadi masalah. Saya salah turun lagi. Padahal pabrik masih lumayan jauh, saya sudah turun. Setelah jalan sebentar dan celingak-celinguk kayak monyet bingung akhirnya baru sadar kalau sudah mendarat tidak pada tempatnya. Busnya juga sudah kabur ntah kemana. Akhirnya naik taksi (untung masih hapal alamat pabrik dan ada uang).
Malu bertanya pasti jalan-jalan.

Ohya, kok jadi ngga nyambung dengan cerita mie instant yang diatas ya?. Ya,... pokoknya kalau lapar setelah tersesat, mau praktis, makanlah mie instant... Ha ha ha.

08 April 2009

Rambut


Ternyata tentang potong rambut pendek dan rapi cuma omong kosong dari PT. Pihak pabrik di Taiwan ngga mengharuskan itu. Ngga peduli mau gundul,botak,plontos, keriting, ikal, pendek atau panjang seperti sundel bolong. Terserah, mereka ngga ngurus. Yang penting kerjanya bagus.
Kaget juga sih, lihat salah seorang senior yang sudah hampir 3 tahun disana, rambutnya dibiarkan panjang sampai pinggang. Bandingkan dengan rambut saya yang cuma 2 cm, seperti buncis dengan kacang panjang.

Untungnya dengan rambut pendek, kepala selalu dingin, ngga gampang emosi (ngga ada hubungannya). Kalau mandi hemat shampoo, cepat, ngga usah disisir. Kepala juga rasanya ringan. Seiring berlalunya waktu, rambutpun semakin panjang. Dulu seperti durian, setelah agak panjang malah seperti sapu ijuk.

Karena masih baru, belum tahu dimana dan bagaimana kalau mau potong rambut di salon. Kebetulan ada yang bisa potong rambut, teman-teman termasuk saya minta tolong dipotong sama dia. Bayarannya cukup dibelikan rokok atau minuman. Hasilnya lumayan OK.

Model Hagemaru ngga terkenal disana. Makanya rambut saya dipanjangin. Paling cuma ditipisin dan dirapikan. Ngga sampai satu tahun sudah mencapai bahu dan bisa diikat , akhirnya nemu salon dekat pabrik. Langganan kalau mau merapikan dan tipiskan rambut. Teman yang bisa potong rambut sudah balik ke Indonesia. Mungkin rugi, karena cuma dibayar sama rokok dan minuman.

Pernah waktu ngetrend cat rambut, semua berlomba ngecat rambut. Titip beli cat rambut sama orang Taiwan. Saya sih maunya warna hijau, tapi waktu dicoba, warnanya ngga mau keluar. Akhirnya di cat warna kuning emas. Yang saya cat cuma dikit, rambut depan, kiri dan kanan. Orang Taiwan bilang seperti sungutnya ikan lele. Herannya itu jadi trend. Sebagian teman-teman ikut. Bahkan ada beberapa anak muda Taiwan yang kerja disana juga ikut.

Ada teman yang malah belain ngecat rambut di salon, habis sekitar 500.000 rupiah. Di cat warna merah bata. Hasilnya.... Malah dibilang jadi mirip Sun Wu Kong ( siluman kera). Ya... begitulah. Tapi itu masih mendingan dibandingkan saya. Karena bosan dengan model “sungut lele”, saya coba model baru, minta bantuan teman. Rencananya di highlight kuning emas, eh jadinya malah “spotlight”. Rambut jadi bercak-bercak kuning. Mungkin ini yang namanya model “tutul harimau”.

Beruntung masih di negara Taiwan, yang orangnya cuek. Meskipun dalam hati kecewa dan ngga pede, tapi cuek aja waktu diajak teman jalan-jalan ke pasar malam. Lagian ngga ada orang yang tertarik untuk melihat, apalagi untuk meniru model ini. Malam hari, pulangnya dari pasar malam langsung minta cat rambut warna hitam sama teman sekamar. Rambut dicat hitam kembali. Berakhirlah riwayat model “spotlight/tutul harimau” hanya dalam 1 malam
.

07 April 2009

Layangan


Layang-layang terbang melayang.
Jauh tinggi, di awan.

Berbagai macam, bentuk dan ukuran layangan. Ada yang kecil dan biasa, ada juga yang besarnya luar biasa. Bisa dibuat dari kertas minyak yang tipis, tapi ada juga yang dibuat dari kain dan plastik tipis. Banyak yang jual layangan, yang biasa dari kertas dan bentuknya standar. Buat diadu. Waktu kecil, paling senang kalau adu layangan. Selain butuh layangan dan keahlian, yang penting adalah benang gelasan yang bagus.

Benang gelasan dibuat sendiri. Pertama dengan menggiling pecahan kaca (biasanya diambil dari lampu bohlam atau yang bagus dari lampu TL / neon yang panjang). Kaca digiling sampai halus seperti bubuk dan disaring. Masak air sampai mendidih, tambahkan Gom Arab/Gum Arabic/Getah Arab atau biasanya di LP disebut “Kak”. Bukan kakak lho... Bentuknya butiran kecil warnanya kuning kecoklatan. Fungsinya untuk mengentalkan air sehingga bubuk kaca yang nantinya dicampurkan ke dalam larutan tadi akan mudah melekat ke benang.

Tunggu larutan air dan Gom dingin baru dimasukkan bubuk kacanya. Aduk sampai rata, kemudian cemplungkan benang jahit yang telah disediakan. Biasanya pakai benang yang warna putih dengan panjang sekitar 500 – 1.000 yard. Bisa juga dimasukkan sedikit pewarna supaya benangnya nanti ada warnanya. Lalu benang tadi diulur dan diangin-anginkan sampai kering. Setelah kering baru digulung menggunakan kaleng bekas bedak atau obat nyamuk atau kaleng susu. Jadilah benang gelasan dan siap untuk diadu. Hati-hati waktu mengulur benang, tangan bisa terluka. Benang gelasan yang bagus bisa memutuskan benang nylon dan juga benang pancing.

Tahun 90-an, harga layangan paling cuma Go Cap atau Ce Pek ( 50 – 100 ). Tapi kalau lagi bokek ya ngga bisa beli. Alternatifnya bisa buat sendiri, rangkanya dari bambu yang diserut atau dari sapu lidi. Terus ditutupi dengan kertas atau plastik. Bisa juga dengan mengejar layangan yang putus atau ngambil layangan yang nyangkut.

Ngejar layangan, terus berebut memang seru. Bawa bambu panjang yang ujungnya diberi ranting. Begitu ada layangan yang putus langsung lari dan mengejar. Ngga jarang layangan yang jadi rebutan malah rusak karena tertusuk ranting atau sobek tertarik waktu berebut. Hati-hati kalau ikut berebut, saya pernah ditabrak orang sampai jatuh dan lecet-lecet. Bukannya dapat layangan, malah dapat luka di kaki dan tangan.

Adu layangan ada seninya, butuh sense (he he... ). Harus tahu kapan menarik dan mengulur, kapan perlu cepat atau pelan. Kalau menang rasanya puas. Dulu rumah-rumah belum tinggi, yang tinggi paling tiang antena tv. Makanya layangan sering nyangkut di sana. Sekarang ini, semakin banyak bangunan tinggi, tanah kosong (lapang) sudah jarang. Masih ada yang adu layangan, tapi jarang yang ngejar layangan. Mungkin lebih gampang kalau beli.

The Mysterious Benedict Society


Judul : The Mysterious Benedict Society ( Persekutuan Rahasia Benedict )
Pengarang : Trenton Lee Stewart
Tebal : 547 halaman
Lama baca : 03/04/2009 s/d 06/04/2009
Nilai : Lumayan

Membaca buku ini, seakan kembali lagi ke masa lalu. Zamannya Enid Blyton dengan bukunya seperti Lima Sekawan dan Pasukan Mau Tahu. Ceritanya sama tentang petualangan anak-anak untuk memecahkan kasus.

Empat anak yang lulus tes dan dengan kemampuan khusus masing-masing. Reynie berjiwa pemimpin, Sticky yang badannya seperti stick (kurus) tapi otaknya sticky (lengket), bisa mengingat apa aja yang dibaca, Kate seperti Lara Croft kecil, kemana-mana membawa ember kecil yang berisi peralatan dan bisa menggunakannya seperti Mc.Gyver. Dan yang terakhir adalah Contance, paling kecil dengan kemampuan yang akan diketahui kalau anda mau baca bukunya sampai habis.

Kalau dibandingkan dengan Lima Sekawan, MBC ( Mysterious Benedict Society ) lebih banyak actionnya. Banyak akal dan diselingi dengan humor yang lumayan. Buku ini tergolong baru dan mendapat beberapa penghargaan.
Sebagai selingan setelah bulan maret lalu banyak membaca buku tentang sci-fi dan sihir, buku ini cukup menghibur. Jadi kembali membayangkan masa kecil dulu. Dimana lingkungan sekitar kelihatan seakan dunia yang sangat luas. Setiap kali pergi jalan-jalan seperti petualangan yang menegangkan.

Mencari ikan di parit, sungai, bendungan. Tangkap belalang dan burung. Mandi di kali, bendungan atau sungai yang airnya jernih ataupun yang butek seperti kopi susu. Ya, memang seru. Walaupun kadang pulang dengan badan gatal dan sering dimarahi ortu. Itulah anak kecil. Begitulah dunianya.

04 April 2009

Handphone


Saya 2 tahun di Taiwan ( 1999 – 2001 ). Barang utama yang harus ada adalah handphone. Waktu itu belum ada yang layar warna, true tone atau polyponic. Sebenarnya layarnya ada warna, cuma warna kuning. Dan mungkin menjelang tahun 2000 berubah warna menjadi biru. Dan menyusul kemudian layar warna.

Begitu tiba di Taiwan, besoknya saya langsung ditawari HP oleh Om saya. Ngga gratis, harganya 2.500 NT (sekitar Rp.625.000,- waktu itu). Bayarnya boleh nyicil, tiap kali gajian dibayar. Saya langsung terima aja. Pertama karena memang butuh alat komunikasi, dan kedua karena memang mau. Dari lahir sampai besar belum pernah punya HP sendiri. Sekarang saatnya, mau nunggu kapan lagi. Meskipun HP second, kredit dan bentuknya ngga up 2 date.

Merk Ericsson (masih belum ada Sony di depannya ), tipenya sudah lupa. Ukurannya aduhai... Baterainya aja lebih besar daripada HP saya yang sekarang. Tapi biar begitu, itu HP pertama dan kesayangan. Selain buat telpon bisa juga digunakan sebagai alat bela diri. Bentuknya yang besar kalau buat pukul orang bisa pingsan. Kalau dikejar anjing gila dan kebetulan ngga ada pulsa untuk telpon bantuan, ngga usah takut. Langsung lempar anjingnya pakai HP itu, kalau kena niscaya pasti pingsan anjingnya.

Waktu ketemu C.Seng dan Cai, mereka agak kaget dengan HP saya. Mungkin karena ngga tega melihat saya yang badannya kecil tapi bawa HP ukuran besar, akhirnya saya dipinjami C.Seng HP Ericsson T10, model flip yang kecil mungil. Wah, saya senang aja. HP yang lama langsung saya jual ke orang baru (hampir tiap beberapa bulan sekali karyawan kontrak dari luar Taiwan datang dan pergi).

Sayangnya T10 ngga berumur panjang. Waktu kerja saya lupa, Hp saya taruh dikantong baju. Dan terjatuh. Layarnya pecah. Memang masih bisa buat terima dan telpon. Tapi ngga kelihatan nomornya. C.Seng cuma ketawa waktu diceritain. “Ngga apa-apa kok, ngga usah diganti.” katanya.
Untung deh, T10 saya kembalikan (dalam kondisi babak belur).

Sebagai gantinya saya beli Nokia 5110 (second). Yang ini tahan banting. Beberapa kali jatuh dan cuma menderita sedikit lecet. Luka paling parah diderita waktu jatuh dan kena antenanya. Bentuk antenanya jadi miring. Padahal itu antena paling berguna, bisa buat garuk-garuk kepala waktu gatal. Kadang dipakai buat korek kuping dan juga hidung. (he he... bercanda kok).

Nokia 5110 bertahan lumayan lama. Sampai tahun 2001 waktu mau meninggalkan Taiwan, baru saya ganti lagi dengan Nokia tipe 3310 (tetap second). Yang ini bentuknya lumayan. Sudah antena dalam, jadi ngga bisa lagi buat garuk-garuk kepala.

Taipei


Perjalanan Jakarta – Taipei sekitar 5 jam. Karena belum pernah keluar negeri, maka nurut aja koper diisi segala macam. Mulai dari segala macam obat sampai berbagai macam rasa mie instant. Malahan waktu di Jogya sempat beli jaket tebal. Tapi akhirnya jaket itu ngga pernah dipakai dan saya berikan ke teman. Jaketnya terlalu tebal, cocok dipakai kalau ke Antartika.

Sampai di Taiwan, langsung diantar ke pabrik ( Cheng Fwa Industrial Co.Ltd ). Sudah sekitar jam 11 malam waktu setempat. Kebetulan Om saya masuk shift malam. Makanya dia yang jemput dan antar kami pakai forklift. Ohya, yang ditempatkan ke pabrik ada 4 orang. Saya, Susanto, Subali dan Ferry.
Kamarnya juga sudah disiapkan. Satu kamar antara 2-4 orang. Kebetulan kamar saya 3 orang dan salah satunya teman satu kampung dan waktu SD satu sekolah. Makanya sama Om diatur satu kamar disana.

Tempat tinggalnya dekat dengan pabrik. Kalau lewat belakang cuma jarak 1 gang kecil. Bebas tanpa satpam. Kira-kira ada sekitar 30 orang Indonesia, 1 orang Singapore, dan 2 dari Thailand. Pagi jam 8 sudah ada di pabrik, laporan dan terus dibawa untuk check up. Katanya yang paling penting adalah periksa apakah cacingan atau ngga. Kalau ditemukan cacingan, langsung dipaketkan kembali ke negara asalnya. Ngga tahu alasannya kenapa, dugaan semua orang katanya kalau cacingan itu berarti malas. Nyambung ngga ya?

Selesai check up, kami berempat langsung disuruh kerja. Ringan aja sih, cuma disuruh rapikan gudang tempat penyimpanan karton. Sore sekitar jam 4 mandor/kepala pabrik ( selanjutnya kami panggil Lao Ta ) datang dan membagikan uang untuk jajan dan belanja. Karena gajian masih lama. Sebenarnya panggilan Lao Ta itu ngga cocok. Kami cuma mengikuti senior yang udah lama kerja disana. Mungkin karena terlalu banyak nonton film mafia HongKong. Mereka suka memanggil Boss mereka dengan panggilan Lao Ta. Whateverlah, yang penting mandornya ngga protes. Asal jangan dipanggil Mas atau A Bang atau Cak, bakalan dicuekin ama Lao Ta..

Tiap pagi mulai kerja jam 8 sampai jam 5 sore, istirahat makan dari jam 12 s/d jam 1 dan tiap 2 jam ada istirahat 10 menit untuk minum, rokok dan ke WC. Diatas jam 5 sore dihitung lembur. Ada juga shift malam yang mulai kerja jam 5 sore sampai jam 8 pagi. Istirahat 10 menit tiap 2 jam, tapi istirahat makan cuma 30 menit. Jam kerjanya lebih panjang. Tapi bayarannya juga sekitar 2 kali lipat bayaran shift pagi. Tapi orang baru biasanya cuma dapat shift pagi, setelah 3 bulan atau lebih dan sudah mampu, baru kebagian shift malam.

Namanya juga orang baru, kerjanya juga masih yang ringan-ringan. Masih sering tanya ke senior. Pernah satu kali, saya disuruh bawa barang produksi dari bagian press ke bagian packing. Sudah setengah jalan baru sadar kalau belum tahu dimana bagian packing. Kebetulan ketemu satu orang cowok, langsung saya dekati dan tanya,”Mas, bagian packing sebelah mana?” Orangnya cuma diam dan lihat saya, terus tangannya nunjuk ke depan. Dalam hati saya pikir, “sombong banget, masa gitu aja ngga mau ngomong,” padahal sudah saya tanya dengan sopan dan semanis mungkin.

Waktu istirahat makan, saya cerita ke salah seorang senior. Dan ternyata itu bukan orang Indonesia. Memang warna kulit dan postur tubuh sama, tapi dia orang Thailand. Makanya diam aja waktu diajak ngomong. Mungkin dia nangkap kata “packing”, makanya cuma bisa diam sambil menunjukkan arahnya.

02 April 2009

State of Fear


Judul : State of Fear ( Kondisi Ketakutan )
Pengarang : Michael Crichton
Tebal : 627 halaman
Lama baca : 25/03/2009 s/d 02/04/2009
Nilai : Bagus

Michael Crichton adalah salah satu pengarang favorit saya. Di rumah ada 9 buku yang bahasa Indonesia dan 2 buku yang bahasa Inggris. Semuanya sudah saya baca, kecuali yang State of Fear yang bahasa Inggris. Next masih belum diterjemahkan, saya sudah baca. Ceritanya tentang mutasi genetika. Katanya itu novel terakhir beliau sebelum meninggal karena kanker tanggal 4 November 2008.

A Case of Need, Congo, Disclosure, Jurassic Park, Prey, Rising Sun, Sphere, State of Fear dan Time Line. Selain itu ada Air Frame dan The Lost World, sudah baca juga sih dan sampai sekarang lagi cari bukunya untuk dikoleksi. Kalau kebetulan ada yang punya dan mau jual, silahkan hubungi saya ya.

Lahir tanggal 23 Oktober 1942 di Chicago, Illinois, USA. Lulusan sekolah kedokteran Harvard dengan summa cum laude. Ingat ER ( Emergency Room ), salah satu serial TV yang terkenal. Disana Michael Crichton sebagai produser dan penciptanya. Masukkan saja kata kunci Michael Crichton di search engine atau di wikipedia, akan keluar banyak informasi tentang beliau.

State of Fear menceritakan tentang kondisi alam. Yang banyak disinggung adalah isu pemanasan global. Setelah baca buku ini, apa yang saya kira benar ternyata belum tentu benar. Banyak informasi, detail dan referensi yang diberikan untuk mendukung ataupun membantah setiap percakapan antar tokoh di dalam cerita. Bahkan disertai diagram dan grafik.

Memang cukup tebal bukunya (627 halaman). Dan ini buku Michael Crichton terbitan Gramedia yang ukurannya besar. Dari halaman 607 – 627 isinya daftar pustaka. Bayangkan... 20 halaman. Padahal skripsi saya aja ngga ada separuhnya. Mungkin waktu beliau buat skripsi isinya daftar pustaka semuanya.

Kembali lagi ke buku State of Fear. Dalam cerita ini, semua ternyata bisa dibuat. salju longsor, banjir, tornado. Dan itu cuma buat menguatkan pernyataan yang diyakini. TV dan koran dijadikan alat untuk mendukung semuanya. Informasi cuma dikutip sedikit atau sebagian sehingga menimbulkan bias.

Setelah membaca buku ini saya jadi berpikir. Misalkan kalau kita diberitahu kalau ngga boleh makan telor karena kolesterol, apakah langsung kita menjauhi telor? Bagaimana kalau bencana dan kecelakaan sengaja dibuat untuk menciptakan adanya berita. Katanya yang menguasai informasi dan teknologi akan menguasai dunia. Benarkah?

Sate Kerang, Sate Jengkol


Sate menurut versi saya adalah segala sesuatu yang ditusuk. Kecuali untuk lahan atau rumah yang katanya ada di posisi “tusuk sate”.
Banyak macam sate, ada sate Banjar dengan bumbunya yang merah, sate Padang dengan bumbu warna kuning. Bahannya juga banyak, bisa dari daging ayam, kambing, sapi, babi, buaya, bisa juga dari kentang, telor, dan lainnya.

Yang dibahas kali ini adalah sate yang dijual di Lubuk Pakam dan sekitarnya. Ngga dijual pakai gerobak, cuma pakai mampan. Satenya disusun tinggi dan ditutupi dengan daun pisang. Yang jual biasanya anak muda usia belasan tahun. Jalan kaki keliling sambil teriak... SA...TE KERANG, JENG...KOL.

Memang yang terkenal adalah sate kerang dan sate jengkol, belakangan ada lagi tambahan sate kentang . Kerang dan jengkol dimasak seperti semur, lalu ditusuk. Sate tusuk mungkin cuma diisi 3-5 untuk jengkol dan kerangnya. Tergantung ukurannya.

Perlu nyali untuk makan sate ini, khususnya sate jengkol. Bukan karena rasanya yang lumayan pedas. Tapi... masalah bau dan malu. Masa wajah ganteng dan cantik, tapi waktu ngomong nafasnya bau jengkol, khan ngga lucu. Tapi kadang perut bisa mengalahkan muka. Apalagi waktu kecil, yang penting enak dan kenyang. Siapa yang perduli kalau nafasmu bau naga atau kuda.Teman saya malah lebih pede, habis makan sate jengkol sengaja meniup ke orang lain biar keciuman baunya.

WC di rumah dulu itu letaknya di belakang dan sudah lumayan berumur. Bangunannya dari kayu dan sudah mulai lapuk. Waktu itu saya masih SD. Seperti biasa kalau mau PUP pasti kesana. Hari itu kebetulan lagi apes, lagi asyik melamun tahu-tahu ada kalajengking. Memang sih ukurannya kecil, tapi sengatannya sakit. Rasanya ngilu.
Saya cepat-cepat keluar dan diobati. Kebetulan waktu itu ada tetangga sebelah rumah (temannya koko saya). Terus saya cerita kalau tadi disengat kalajengking. Selesai cerita, ada tukang sate kerang yang lewat. Langsung saya panggil dan beli beberapa tusuk. Baru aja mau makan, teman itu melarang. Katanya,”bahaya, kalau baru disengat kalajengking ngga boleh makan sate.” Saya jadi ragu, terus dia ngomong lagi,”benar lho, bahaya. Bisa lumpuh nanti.” Wah.... saya tambah takut. Akhirnya saya berikan satenya ke dia. Langsung dimakan habis.

Malam hari saya cerita ke ortu, dan langsung ditertawakan. Ternyata saya dikerjai. Dasar..... padahal mau makan sate kerang, eh... cuma bisa ngiler liat orang makan.

01 April 2009

Hagemaru ke Jakarta


Di Jogya cuma sebentar, ketemu Sud dan teman disana. Skalian potong rambut, katanya kalau mau berangkat kerja di luar negeri harus rambut pendek. Seingat saya dari kecil sampai besar belum pernah rambut dipotong pendek. Karena diharuskan begitu, terpaksa dipotong juga.

Maunya sih model cepak yang berdiri dengan panjang sekitar 2 cm, sering lihat S.Kok dengan model rambut seperti itu dan bagus. Tapi, setelah di tempat potong rambut dan selesai dikerjakan. Kok hasilnya beda jauh dengan yang dibayangkan. Bukannya bagus dan rapi, tapi malah seperti buah nangka/durian. Ternyata memang bentuk kepala menentukan hasil potongan. Kepala besar dan bulat seperti saya sama sekali ngga cocok dengan model itu.

Nasi sudah menjadi dingin, daripada basi khan lebih baik dijadikan nasi goreng. Daripada menyesali rambut yang jadi duri, lebih baik cuek dan tetap pede. Teman yang liat semuanya ketawa. Katanya mirip Hagemaru (tokoh komik yang suka saya gambar di kertas surat). Walaupun sebenarnya beda, masih ganteng saya jauhhhhhhhhh....

Dari Jogya naik travel ke Jakarta. Langsung diantar sampai PT yang akan mengurus keberangkatan ke Taiwan. Setelah ngurus persyaratan dan laporan, saya naik taksi cari tempat tinggal dekat sana. Sewa kamarnya dihitung perhari.

Kata yang punya rumah, cukup banyak yang tinggal disini sebelum berangkat ke Taiwan. Rata-rata nunggu sekitar satu bulan. Lama juga ya, ngerjain apa dan siapa ya selama itu?
Beberapa kali bolak-balik ke PT, selain diberi pengetahuan umum tentang perjanjian kerja dan sekilas tentang jenis pekerjaan, juga di tes kesehatan lagi.
Malam hari, saya jalan-jalan sendiri. Beli buku dipinggir jalan. Karangannya Tara Zagita, Rp.2.500,- perbuku kalau ngga salah. Sempat beli 5 – 6 buku. Sehabis baca, saya jual lagi. Tapi harganya tinggal Rp.1.000,-. Ya, anggap aja bayar sewa baca.

Ternyata ngga perlu nunggu sampai satu bulan, cuma 2 minggu lebih dikit saya sudah disuruh siap-siap untuk dieksport ke Taiwan.

Goodbye Jogya


Setelah lulus, saya masih di Jogya. Sampai awal tahun 1999 baru disuruh pulang bareng Sud. Koko mau menikah. Akhirnya sibuk cari tiket buat pulang ke Lubuk Pakam. Ortu juga sudah ngga dagang di Serbelawan. Jadi nanti semuanya bisa kumpul di LP.

Kali ini naik kapal laut, berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok menuju Belawan. Tiket dapat dari teman, ada saudaranya yang ngga jadi berangkat. Saya dan Sud OK aja dan ngga tahu kalau nanti bakalan jadi masalah. Waktu di dalam kapal baru sadar, tiketnya atas nama orang lain dan yang paling parah nama yang tertera di tiket adalah cewek. Otomatis dalam satu kamar itu semuanya cewek. Langsung saya dan Sud berusaha untuk ngurus dan minta pindah. Ternyata lewat jalur resmi ngga bisa, akhirnya dengan bantuan teman tiket bisa ditukar, cuma beda kelas. Jadi kelas III kalau ngga salah, yang tempat tidurnya banyak dan ngumpul. Masih untung dapat tempat tidur, sementara tas dan barang bawaan lainnya kami titipkan ke teman, dia dapat yang kelas I.
Lebih enak naik kapal laut, bisa jalan-jalan. Ngga terlalu capek, bisa lihat laut dan langit (cuma itu yang sering kelihatan). Kadang nonton film (harus bayar). Kamar mandinya juga bersih dan ada air panasnya juga. Dapat makan untuk kelas tertentu.

Ngga lama di LP, setelah acara selesai dan berkunjung kesana kemari akhirnya kembali ke jogya.
Waktu di Jogya, Cai dan C.Seng telpon dari Taiwan nyari saya. Disuruh ke sana juga, biar rame katanya. Saya ngga terlalu menanggapi, masih betah di Jogya. Tapi, ternyata petualangan saya di Jogya ngga bertahan lama. Saya harus meninggalkan Jogya begitu dengar kabar kalau mama lagi sakit. Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke LP.

Naik Bus, mampir dulu di Palembang, tinggal beberapa hari disana dan jalan-jalan. Setelah itu baru langsung ke Lubuk Pakam.

Mama ternyata sakit kanker pankreas, malah sempat dibawa berobat ke pulau Penang ( Malaysia). Di LP saya sempat beberapa kali temani beliau ke dokter untuk kemoterapi. Rambut mama rontok semua, belum lagi serangan rasa mual kalau habis kemoterapi. Segala macam pengobatan alternatif juga dicoba.

Selama di LP, saya mencoba melamar dan mencari kerja. Akhirnya ada saudaranya papa yang di Medan mengusulkan untuk kerja di Taiwan. Katanya ada Om saya yang sudah kerja disana, gajinya lumayan besar. Kalau mau segera urus passport dan daftar di PT (tempat menyalurkan tenaga kerja ke luar negeri). Saya pikir, bagus juga. Gaji besar, bisa keluar negeri. Kerja dan jalan-jalan. Sekali dayung, sampai Taiwan........Naik bus lagi ( tapi ngga ke Taiwan lho), tujuannya ke Jogya dulu, ketemu Sud.